Di Awal Oktober


DI AWAL OKTOBER

Seperti biasa, matahari mulai muncul di ufuk timur. Menghangatkan pagi hari seusai hujan lebat semalam. Gelap mulai berganti terang. Cahaya oranye itu perlahan masuk menembus horden jendela kamarku. 1 hari lagi umurku bertambah. Hari baru dimulai dengan berharap lebih baik dari hari sebelumnya. Aku, hanya manusia biasa yang rindu akan jiwa patriotisme dan jiwa nasionalisme.

Aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Aku duduk di tepi tempat tidurku, bola mataku bergulir melihat jam dinding digital yang menunjukkan pukul 6 pagi. Aku memandang kalender, menyipitkan mataku agar dapat melihat angka-angka nya. Hari ini, tanggal 1 Oktober 2045. Jelas tertulis di kalender ‘Hari Kesaktian Pancasila’ Hari yang sangat sakral yang merupakan hari istimewa dan bersejarah bagi seluruh warga Indonesia. Waktu berjalan dengan cepat. Banyak perubahan di Negara ini. Tidak ada lagi Upacara Bendera, hanya Sang Saka Merah Putih berjejer di pinggir jalan, tanpa ada yang menjunjungnya, tanpa ada yang menghormatinya. Tidak ada lagi anak kecil berseragam Sekolah Dasar yang sedang asik menghafalkan butir-butir Pancasila dan melantunkan lagu-lagu wajib Nasional, bahkan sebagian masyarakat hanya mengetahui Pancasila sebagai dasar negara tanpa mengetahui betapa saratnya makna dan kandungan dari Pancasila itu sendiri. Tidak ada lagi orang yang antusias dengan datangnya Hari Nasional. Mereka semua sibuk dengan urusan masing – masing, dengan teknologi super canggih yang ada sekarang, mereka dengan mudahnya melupakan betapa bersejarahnya, pentingnya dan berharganya Hari Kesaktian Pancasila dan Pancasila itu sendiri. Melihat kondisi seperti itu, membuatku miris seperti teriris. Aku rindu Indonesia yang dulu. Seketika lamunanku buyar dan aku segera bersiap untuk ke rumah sakit.

Rumah sakit sangat sibuk hari ini. Akhir-akhir ini banyak pasien penderita flu berat. Cuaca saat ini memang sedang tak menentu. Hal itulah mungkin yang menjadi penyebabnya. Pemanasan Global yang semakin lama semakin parah ditambah hilangnya pohon-pohon lebat di Jakarta juga membuat cuaca cepat berubah-ubah dan mendukung berkembangnya penyakit-penyakit.

Waktunya istirahat sejenak. Tadi cukup banyak pasien yang datang. Aku menelusuri lorong rumah sakit, memandang sisa-sisa hujan kemarin yag masih membasahi pohon-pohon dan rerumputan. Sambil melepas penat, aku berjalan menuju kamar nomor 8, yaitu kamar pasien, seorang anak laki-laki yang sudah aku tangani sejak dia lahir. Kuketuk pintu kamarnya dan menghasilkan bunyi ‘Tok’ yang bergema ke seluruh penjuru lorong. Tidak ada jawaban dari dalam, aku membuka pintunya perlahan dan ternyata dia tidak ada di dalam. Aku berpikir sejenak kemana dia pergi. Tidak menunggu lama aku tau kemana dia pergi. Taman belakang. Aku langsung menuju kesana dan benar dugaanku, dia sedang duduk di kursi rodanya dibawah pohon rindang dengan kuas dan cat air di tangannya. Dia sangat senang melukis, hanya dengan cara ini agar dia tidak terlalu memikirkan penyakitnya. Ya, dia adalah Axell, anak kecil berumur 8 tahun. Tahun lalu, dia di diagnosa mengidap kanker tulang yang menyebabkan kelumpuhan pada kakinya.

“Axell!” teriakku memanggil Axell dari kejauahan. Axell menengok kanan kiri mencari dari mana asal suara datang, saat dia sudah melihatku dia pun berteriak dengan suara yang mungkin menurut orang yang mendengarnya bukan seperti teriakan.

“Hai Sir, ayo ke sini!” ajak Axell kepadaku.

Aku langsung berjalan ke arah Axell dan duduk di kursi taman sebelah kursi rodanya. Dia menyambutku dengan senyum lemah di wajahnya.

“Bagaimana hari ini? Sudah minum obatmu?” tanyaku sambil mengacak rambut kepalanya.

“Hmmm, sudah. Aku baru saja minum tadi. Hari ini entah kenapa aku merasa lebih tenang,” jawabnya dengan suaranya yang lemah.

“Syukurlah kalau begitu. Ngomong ngomong, apa yang kamu lukis?” Tanya ku sambil memandang kanvas yang diletakkan Axell di pangkuannya. Walaupun umurnya masih 8 tahun, menurutku dia mempunyai bakat melukis yang sangat baik.

“Aku sedang melukis orang yang sedang melakukan Upacara Bendera. Perhatikan Sir, mereka semua memakai batik dan seseorang membaca Pancasila,” jawabnya dengan mata dan tangan yang tidak berpaling dari kanvas dan kuasnya.

“Mengapa kamu melukis ini?” aku bertanya kembali menanggapi jawabannya.

“Aku ingin melakukan Upacara Bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, Sir, tapi kata bunda melakukan itu semua di zaman sekarang sangat sulit. Padahal hari ini hari Kesaktian Pancasila. Aku ingin mendengar langsung seseorang membacakan Pancasila, Sir,” jawabnya lagi dengan nada sedih.

 Aku kaget mendengar perkataan Axell. Di zaman sekarang yang amat modern, dimana hampir semua orang tidak peduli dengan Hari-hari Besar Nasional, ternyata masih terselip Warga Negara yang masih menghargai arti Pancasila, dan yang paling membuat bulu kudukku merinding adalah semua  perkataan itu dikeluarkan dari mulut anak kecil yang lugu dan polos.

Axell melanjutkan ucapannya, “Bunda sering menceritakan masa kecil dia saat melakukan Upacara Bendera di sekolahnya dulu. Bunda bilang upacara selalu berjalan dengan khidmat. Penaikan bendera diiringi lagu Indonsesia Raya. Semua murid mengikuti upacara dengan tertib. Bahkan Bunda memberiku rekaman bagaimana pelaksanaan Upacara Bendera dulu. Aku bingung kenapa bunda bilang zaman sekarang sulit melakukan kegiatan seperti bunda masih kecil, padahal aku ingin merasakan merayakan Hari Kesaktian Pancasila ini. Melakukan semua yang bunda ceritakan kepadaku,” Axell mengakhiri ceritanya dengan senyum lemah di wajahnya.

Ditaruhnya kuas yang ada di tangannya, kemudian dia mengambil perangkat elektronik dari saku celananya. Dia putar salah satu video yang ada, Upacara Bendera. Dia menunjukkan video itu kepadaku.

“Lihat ini Sir, lagu Indonesia Raya hanya bisa kudengar dari video ini. Tidak pernah kulihat ada seorang yang menyanyikannya sekarang,” kata Axell.

  Aku sangat terharu dengan apa yang Axell ceritakan, mungkin orang lain yang mendengarkannya secara langsung pasti merasakan hal yang sama sepertiku. Lamunanku buyar karena mendengar bisikan kecil yang tak lain adalah suara Axell. Ditepuknya tanganku dengan tangannya yang kecil. Daritadi mendengarkan cerita Axell, sampai aku tak sadar kalau pikiranku pergi entah kemana.

“Ada apa Sir? Mengapa diam?” tanya Axell padaku dengan wajah heran.

“N-n-nothing Axell, Aku hanya tak habis pikir dengan ucapanmu. Tak kusangka begitu cintanya kau terhadap negara kita,” jawabku dengan tersenyum, Axell pun tersenyum dan melanjutkan melukisnya.

Angin yang lumayan kencang tiba-tiba datang menghempas. Keadaan mulai menggelap. Awan kelabu berkumpul menutupi langit. Aku memandang ke atas langit dan tiba-tiba setetes air jatuh tepat di wajahku. Axell pun melakukan hal yang sama.

“Axell, lebih baik kita segera kembali ke kamar sekarang,” ajakku.

“OK,” jawab Axell singkat.

Di perjalanan menuju kamar, Axell yang sedang melukis kanvasnya, dengan aku yang mendorong kursi rodanya. Kami melanjutkan obrolan kami tadi di taman.

“Sir, tau ga kalau besok Hari Batik Nasional?” tanya Axell.

“Ya, tau. Memangnya kenapa?” jawabku dan balik bertanya.

“Aku mau merasakan pakai baju Batik besok, aku bosan dengan baju biru rumah sakit, Sir, boleh tidak?” tanyanya lagi.

“Tentu saja boleh Axell, oh ya, ngomong-ngomong besok hari ulang tahunmu kan? Sebagai hadiah ulang tahunmu besok aku akan membawakan pakaian Batik yang bagus untukmu,” jawabku.

“Wah, terimakasih Sir, aku senang sekali bisa memakai Batik baru yang bagus besok,” jawab Axell dengan senyumnya yang lebar, yang baru pernah kulihat kali ini.

“Oh ya Sir, apa kita tidak bisa mengadakan Upacara Bendera? Aku ingin sekali merasakan Upacara Bendera walau hanya sekali. Pasti menyenangkan upacara dengan baju batik baru,” tanya Axell padaku. Bagaiakan petir yang menyambar, pertanyaan itu sangat menusuk hatiku, aku tak kuasa menolak permintaan anak kecil yang begitu ingin melakukan Upacara Bendera.

“Mmm, mungkin sulit, tapi akan ku usahakan, I promise,” jawabku, tepat sampai di depan kamar Axell dan kemudian membantunya masuk dan aku membiarkannya berbaring istirahat di tempat tidurnya.

-00—00—00-

2 Oktober. Waktu yang ditunggu-tunggu. Hari Batik Nasional Indonesia. Hari dimana semuanya sudah kupersiapkan untuk mewujudkan keinginan Axell. Aku sangat menunggu hari ini. Semuanya sudah aku atur kemarin. Tak lupa kubawa baju Batik yang akan kuberikan untuk dipakai Axell nanti. Tiba-tiba Bunda Axell menelfonku, dia menyuruhku untuk segera ke rumah sakit, karena Axell pingsan, Bunda nya khawatir dengan keadaan Axell.

Mendengar Axell yang jatuh pingsan, aku seperti kebakaran jenggot, pikiranku kacau, tapi tetap berusaha tenang. Aku langsung menuju ke rumah sakit. Sesampai nya di kamar Axell, aku melihat Axell yang sudah sadar, aku bergegas untuk memeriksanya. Dia pingsan karena terlalu lemas. Semalam memang dia tidak mengisi perutnya rupanya.

“Lebih baik Axell, istirahat saja dulu, jam 10 akan ada acara penting, pulihkan dulu tenaga Axell agar tidak pingsan lagi, Ok,” pintaku pada Axell.

“Memang akan ada apa Sir?” tanya Axell.

“Masih rahasia, lebih baik Axell istirahat sekarang, nanti juga akan tau,” jawabku.

“Baiklah, Sir,” jawabnya menurut.

Pukul setengah 10 pagi, aku membangunkan Axell yang masih tertidur lelap di tempat tidurnya dengan baju batik yang sudah ia kenakan. Aku membantunya menaiki kursi rodanya dan membawanya menuju taman belakang. Axell beberapa kali bertanya padaku apa yang akan dilihatnya, tetapi aku tidak menjawabnya. Hal itu membuat dia heran dan bingung. Setelah sampai di tempat tujuan, Axell yang menyadari apa yang dilihatnya langsung tercengang melihat keaadaan yang dia lihat di depan nya. Walaupun senyuman jelas terpampang di wajahnya, tetap kalah dengan wajah pucatnya. Yang membuat dia kaget adalah ada sebuah tiang bendera dan sekumpulan orang berpakaian batik yang memakai kain kecil berwarna merah putih di kepala atau tangannya.

“Sir, Apa aku sedang bermimpi?” ucapnya dengan nada terharu. “Sama sekali tidak, Axell. Ayo kita rayakan Hari Kesaktian Pancasila dan Batik Nasional Indonesia” ucapku sambil ngengikatkan kain merah putih dikepala nya.

Senyuman tak henti-henti nya terpampang di wajah Axell. Sambil memeluk Bundanya, ia mengekspresikan kebahagiaannya.

Tepat pukul 10 pagi semua orang yang ada di rumah sakit mengikuti Upacara Bendera untuk merayakan Hari Kesaktian Pancasila dan Batik Nasional. Semua orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Tentu nya Axell sangat gembira bisa ikut dalam pelaksanaan Upacara Bendera. Kebahagiaan itu terukir jelas di wajahnya. Tak dapat di pungkiri betapa senangnya aku dapat mewujudkan mimpi Axell. Banyak orang yang mengikuti upacara dengan meneteskan air mata. Aku sangat terharu melaksanakan upacara bendera hari ini. Rasanya setelah bertahun-tahun tanpa melakukannya, hari ini kita kembali merasakannya.

Setelah selesai menyanyikan lagu Indonesia Raya, aku langsung melihat ke sisi kanan ku, melihat Axell yang tersenyum, aku pun membalas senyumannya dan berjongkok agar badan ku sejajar dengan Axell.

“Terima kasih Sir, sudah mewujudkn mimpiku selama ini, Aku senang sekali. Hari ini tidak akan Axell lupakan.” ucap Axell sambil memelukku bahagia. Mata bulatnya yang berbinar-binar seakan terpancar sinar kebahagiaan dari kedua matanya.

“Ya, Axell, hal yang ku kerjakan tidak sia-sia. Aku senang kau puas dengan semua ini,” jawabku. Tapi setelah itu aku merasa aneh dan merasa ada yang tidak beres. Aku merasa pelukan Axell mengendur dan beban tubuhnya menimpa ku. Semua yang aku rasa dan yang aku pikirkan benar. Axell sudah memejamkan matanya. Nafasnya tak lagi terasa. Entah mengapa air mataku langsung mengalir begitu deras tak tertahan. Terisak, tak percaya hal ini akan terjadi, berlalu begitu saja. Ku lihat Bunda Axell dan orang-orang yang mengikuti kegiatan Upacara ikut sedih dengan kepergian Axell.

 Sungguh banyak kejadian yang tidak dapat dilupakan pada awal Oktober ini. Kesaktian Pancasila yang sarat akan sejarah, Hari Batik Nasional yang merupakan kain tradisional Indonesia yang perlu kita lestarikan, tanggal lahir dan wafatnya Axell, dan tanggal dimana diadakannya Upacara Bendera pertama dan terakhir Axell.

Hari itu juga Axell dimakamkan. Setelah pemakaman Axell aku kembali ke rumah sakit dan menuju ke kamar Axell. Di sana masih banyak barang Axell karena belum sempat dikemas. Di bawah tumpukan barang-barangnya, aku menemukan lukisan Axell yang kemarin dia lukis di taman belakang. Lukisan indah itu sudah selesai. Saat aku melihat lukisan itu aku teringat kejadian kemarin, begitu cepat waktu bergulir, dan aku sadar hal itu tidak akan mungkin bisa terulang dan kembali lagi. Aku merenung memikirkan dan mengingat itu semua. Tetapi ada sesuatu yang membuat aku terkejut, satu kalimat yang membuatku membeku di tempat, yaitu tulisan Axell di bawah lukisan itu. Di sana tertulis “-Aku ingin merasakan NKRI seperti sebelum aku terlahir di dunia-“.

Selesai.

Kemerdekaan Nasional bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya
-Sutan Syahrir

Comments

Popular Posts