Nightmare 1
Tepat pukul 12 malam ketika suara dentuman keras itu
menggelegar ke seluruh penjuru kota. Ya, hari ini adalah festival perayaan
tahun baru di kota kecil tempat ku tinggal, Midtrict Town. Kesempatan sekali
dalam setahun untuk melihat kembang api
yang meluncur dan memekarkan keindahan nya di langit. Langit malam yang penuh bintang di rangkaian galaksi
bima sakti memperindah kembang api itu. Semua orang terlihat bersenang-ria
menyambut tahun baru ditemani berbagai pertunjukkan yang hanya setahun
sekali bisa dinikmati. Anak kecil
berkeliaran di lapangan balai kota yang ramai dengan kembang api kecil di
genggamnya, tertawa senang sambil menunggu kembang api yang di genggamnya padam
karena sumbunya habis kemudian meminta orang tua mereka untuk memberikan mereka
kembali kembang apinya sambil merengek kecil. Asap harum tersebar dimana-mana
yang tak lain berasal dari makanan yang di bakar di tengah lapangan. Festival
rakyat berlangsung di barat lapangan menampilkan hal yang sama dengan tahun
kemarin, membuatku tidak tertarik untuk melihatnya. Aku duduk di tepi lapangan,
memandang ke langit, menikmati kembang api dan bintang-bintang yang berkelip
dengan indah. Anehnya, di suasana seramai ini, aku masih merasa kesepian.
Aku
Gard, anak 14 tahun yang tinggal bersama keluargaku di Trin Valley 231,
Midtrict Town, menjalani kehidupan sehari-hari menjadi seorang anak normal dan
murid SMP di Neo Academy, sekolah
terbaik di kota ku. Mungkin kalian akan berpikir kalau sekolahku penuh dengan
anak-anak pintar, tapi kenyataan-nya sangat menyedihkan. Jika kau murid bermasalah
tetapi kau punya banyak uang, tidak ada yang bisa menghalangimu masuk sekolah
ini. Apa aku anak yang pintar? Mmm, mungkin saja, aku hanya bisa mengandalkan
kemampuan berhitungku untuk bisa masuk sekolah ini, tetapi bukan berarti aku
siswa yang disukai oleh para guru. Semuanya berjalan normal kira-kira sampai
aku di-diagnosa suatu penyakit aneh-tak menular, Altumultis Imaginarium Delusion, tahun lalu. Semua orang menganggap
ku gila sejak saat itu. Penyakit ini
membuatku dipanggil gila oleh sebagian temanku karena aku sering berkahayal dan
seakan-akan khayalanku itu nyata—atau memang itu benar-benar nyata.
Ayahku, Mr Louis Mavelle,
laki-laki tinggi berkacamata dengan rambut silver putih adalah seorang guru
fisika SMA di kota ku. Keahliannya menurun padaku. Walaupun aku masih duduk di
bangku SMP, tapi aku sudah bisa mengerjakan soal-soal fisika tingkat SMA. Tapi
tidak dengan biologi, keahlian ibuku. Mendengarnya saja aku sudah pusing,
apalagi membayangkan buku-buku nya yang penuh gambar dan nama latin yang sangat sulit dimengerti itu
membuat napasku sesak. Ibuku, Mrs Fianna Mavelle, adalah seorang Zoologist,
pekerjaannya hanya merawat dan meneliti hewan. Waktu kecil, setiap akhir pekan
biasanya Ibu mengajakku ke tempat kerjanya. Menyenangkan bisa bermain dengan
macam-macam hewan di tempat ibu kerja. Terkadang aku bermimpi mereka menjadi
hewan yang lebih keren, seperti kelinci yang memiliki sayap dan ekor yang
menyerupai petir dan berbagai hewan lainnya yang menakjubkan dalam pikiranku.
Mimpi itu terasa sangat nyata bagiku, mungkin karena aku terlalu menikmati
mimpi, sampai-sampai aku lupa kalau itu hanyalah mimpi. Atau itu karena efek Altumultis Imaginarium Delusion-ku.
Kini tak seperti dulu lagi. Ibuku
telah meninggal 2 tahun lalu, hal yang tak terduga terjadi padanya ketika
sedang menjalani tugasnya di belantara Amazon. Hari itu adalah hari yang paling
menyedihkan bagiku. Ditambah lagi ketika ayahku menikah lagi dengan mantan
teman kerjanya dulu sebelum menjadi guru, Mrs Queenie. Dia perempuan yang…
Mungkin kau akan terpesona melihat wajahnya yang super cantik, dengan rambut
panjang bergelombang blonde-nya yang berkilau
tetapi aku jamin pandanganmu akan berubah ketika kau sudah tahu apa yang
ada dibalik wajah cantiknya itu. Lebih baik jika aku memanggilnya ‘nenek sihir’
daripada ‘Ibu’. Hatinya benar-benar tidak selaras dengan wajahnya.
Bulan Januari, itu berarti libur tahun baru sebulan
penuh. Mungkin anak-anak lain seumuranku akan sangat senang saat bulan ini
datang. Liburan akhir semester mereka habiskan dengan liburan dan
bersenang-senang dengan keluarga mereka. Semua temanku akan bercerita tentang
liburan mereka saat kembali masuk sekolah nanti. Tapi tidak denganku. Kurasa
liburan kali ini adalah yang terburuk selama 2 tahun terakhir. Aku harus
tinggal di rumah bersama nenek sihir itu, sedangkan Ayah pergi untuk kunjungan
sekolah di kota lain. Liburan yang benar-benar mengerikan ketika aku hanya
tinggal di rumah, berdua dengan nenek sihir itu. Aku lebih baik tinggal sendiri
jika boleh memilih. Dengan perginya Ayah, berarti dia semakin leluasa untuk
mengaturku dan memarahiku tanpa alasan. Hal yang sangat menyebalkan ketika
mendengar ocehan yang keluar dari mulutnya.
Hari-hari
liburan menjadi semakin buruk ketika aku bersamanya. Setiap pagi menggedor-gedor
pintu kamarku untuk membangunkanku dan menyuruhku untuk membuat sarapan. Memang
ada yang salah dengan dirinya. Bagaimana bisa ia menyuruhku membuat sarapan,
sedangakan dia lah yang seharusnya melakukannya. Lihat saja sampai aku
ceritakan semua ini kepada Ayah. Tapi percuma saja, ayah akan lebih
mempercayainya daripada aku. Aku sudah muak setiap kali dia ber-akting sok baik
di depan ayah, seakan semua hal buruk pada dirinya adalah hanya omong kosongku.
Ayah benar-benar sudah terpengaruh olehnya.
Hari
ini, Sabtu pagi yang mendung dan dingin di minggu terakhir libur akhir
semester. Matahari yang seharusnya tampak tersenyum di timur, malah enggan
memperlihatkan senyumnya pada pagi ini, digantikan dengan awan kelabu tebal
yang memenuhi langit pagi ini. Udara yang dingin membuatku meringkuk walaupun
tubuhku sudah ditutupi selimut tebal berlapis-lapis. Aku setengah sadar di
bawah selimutku, dengan buku Sherlock Holmes karya Conan Doyle yang masih terbuka-tergeletak
di dekat bantalku—Semalam aku membacanya untuk menyelesaikan tugas liburanku. Aku
memimpikan sesuatu yang indah, hingga mimpi itu hancur ketika aku mendengar
gedoran dan teriakkan yang tak lain berasal dari satu-satunya perempuan yang
ada di rumahku saat ini… ibu tiri-ku.
“Bangun!
Bangun!” teriak nenek sihir itu sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku
terbangun kaget, menggulingkan badanku sampai aku jatuh dari tempat tidurku.
Bunyi ‘BRUK’ terdengar disertai dengan rasa sakit punggungku yang masih bisa ku
tahan.
“Aw!”
aku mengerang.
Nenek
sihir itu menggedor pintu kamarku lagi, “Bangunnnn! Apa kau tidak dengar?!”
Aku
membalikkan posisiku, memandang langit-langit, masih menahan rasa sakit, mengambil napas dalam-dalam dan berusaha mengingat mimpiku.
“Naik
mobil terbang? Mengapa harus jatuh ke laut? Ahh, akhir yang buruk karena aku
harus mendengar teriakkannya!” gerutuku, sambil menggaruk kepala belakangku.
Suara
gedoran lagi, kali ini lebih keras. “Kau sudah bangun belum? Jangan sampai aku
menyirammu dengan air!” teriak nenek sihir itu.
“YAA!
Aku akan segera keluar!” jawabku dengan membalas teriak juga. Kira-kira
begitulah sapaan selamat pagi yang aku dapat selama liburan ini.
“Ayo,
cepat. Siapkan sarapannya!”
Aku
menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dengan enggan aku bangun
dari lantai, berjalan terhuyung seperti orang mabuk, membuka pintu kamarku dan
pergi ke dapur dengan piyama yang masih aku kenakan. Rasa kantuk masih
menyelimuti diriku.
Setelah
sampai di dapur, aku disambut dengan pemandangan yang secara tiba-tiba membuat
mataku membelalak menghilangkan kantuk yang kurasa. Meja makan sangat-sangat
berantakan. Tumpahan hitam yang ku taksir pasti itu pepsi. Piring-piring kotor
bertumpuk di tempat cuci, beserta sisa-sisa makanannya. Hal itu membuat bau
busuk tercium olehku begitu aku sampai dapur. Hidungku seperti baru saja
tertusuk oleh jarum-jarum kecil sampai rasanya membuat kepalaku sangat pusing,
tak tahan dengan baunya. Sepertinya tak lama lagi aku akan memuntahkan semua
makanan yang aku makan semalam. Aku teringat kalau semalam ia mengajak
teman-temannya ke rumah untuk berpesta atau apa-lah. Aku tak bisa membayangkan
apa yang akan Ayah katakan seandainya dia melihat ini semua.
“Cepatlah,
buatkan aku telur ceplok, awas jangan sampai gosong,” terdengar suara
melengking nyaring dari balik sofa depan TV.
“
Jangan lupa roti panggangnya,” lanjut suara itu.
Aku
berdiri menggerutu.
“Apa kau bilang?”
“Tidak, tidak apa-apa,”
Aku mulai menggoreng telur
dan memanggang roti untuk sarapan. Menyiapkannya di meja makan, sementara dia duduk
mengengkang kaki sambil menonton TV dengan secangkir kopi hangat di tangan
kanan-nya. Tak ada obrolan di meja makan. Lagipula tidak ada juga topik yang
ingin kubahas dengannya. Setiap pagi kami hanya saling menatap tajam, sinis
satu sama lain sambil melahap sarapan kami. Aku melahap potongan roti panggang
terakhirku dan melirik ke arah pembaca berita di TV yang sudah separuh jalan
membacakan laporan cuaca hari ini.
“…masyarakat dihimbau untuk
tidak keluar rumah hari ini, diperkirakan akan terjadi badai besar sampai 10
hari ke depan. Bagi kalian yang masih bekerja dihimbau untuk me—…” ‘SHUTT’
Belum selesai aku
menontonnya, tapi TV itu sudah dimatikan oleh si nenek sihir. Apakah dia pikir
dia bisa melakukan itu seenaknya, sementara bukan hanya dia saja yang sedang
menonton. ‘Sial’ gerutuku dalam hati.
“Aku akan pergi hari ini,
jangan mengacau di rumah,” kata nenek sihir itu setelah melahap potongan
terakhir rotinya dan meneguk sisa kopinya.
Mendengar ucapannya,
membuatku girang setengah mati. “Sungguh? Ah, syukurlah, sering-sering lah
pergi aku juga tidak ingin kau ada di sini.”
Ketika sudah di depan pintu,
ia berbalik dan, “Apa katamu?! Beraninya kau!” wajahnya terlihat kesal.
“Bereskan semua ini, atau kau tidak akan dapat jatah makan malam!” tambahnya sambil
membanting pintu rumah. Bunyi gubrakan keras menggema ke seluruh rumah.
“Apapun itu, asalkan kau
tidak ada di rumah!!” teriakku, walaupun dia sudah meninggalkan rumah.
Kalau dipikir, apakah dia
tuli atau memiliki gangguan pendengaran lain? Jelas tadi pembawa acara TV
mengatakan bahwa akan terjadi badai dan semua lebih baik jika berdiam diri di
rumah. Tapi, siapa peduli juga, akan lebih baik kalau dia tidak pulang. Aku
akan membersihkan rumah ini sendirian, dan akan lebih bahagia jika ada ayah
disini, tentunya. Dibandingkan dengan hidup bersama nenek sihir itu, aku lebih
baik menghilang dari bumi ini. Kurasa alasan ini cukup kuat untukku.
Berita baiknya, ayah
memberitahu-ku kalau ia akan pulang besok. Untunglah kalau begitu, tidak ada
lagi yang akan menjadikanku sebagai pesuruh pribadi. Tapi tetap saja
kebahagiaanku tak akan pernah seperti dulu lagi selagi masih ada nenek sihir
itu di rumah. Hal yang paling menjengkelkan ketika dia terus berpura-pura baik
kepadaku di depan ayah. Jika ingat hal-hal yang dilakukannya terhadapku ketika
ayah tidak ada, aku bersumpah akan membunuhnya jika itu tidak dilarang.
Terpaksa aku harus membersihkan
seisi rumah. Aku sudah tak tahan dengan bau busuk dapur yang sekarang sudah
menyebar ke seluruh ruangan. Sebenarnya aku ingin membiarkannya begitu saja supaya
ayah melihat apa yang dilakukan nenek sihir itu di rumah selama Ayah pergi,
tapi, pasti aku yang akhirnya kena omel oleh Ayah. Nenek sihir itu terus
mempengaruhi Ayah dan lebih buruknya lagi, Ayah benar-benar mudah terpengaruh
olehnya. Tak ada pilihan lain selain mengikuti perintahnya selama Ayah pergi. Walaupun
begitu, setidaknya jika ada Ayah, aku mempunyai sedikit pembelaan.
Hal pertama yang harus aku
lakukan adalah membuang sampah busuk yang menumpuk di dapur, kemudian
membersihkan seluruh rumah dengan sapu, kemoceng dan pel. Begitulah kegiatan-ku
selama liburan. Mungkin jika hanya sekali atau duakali itu adalah hal yang
wajar, tapi, jika setiap hari? sungguh hal yang menyedihkan. Jika dalam
hidupnya orang lain mempunyai pilihan, maka tidak denganku. Aku mulai
membersihkan rumah, ditemani dengan cuaca dingin dan suara kilat yang berkali-kali
menyambar bumi. Aku tak menyangka cuaca hari ini benar-benar kacau. Badai besar
benar-benar terjadi. Kupikir barangkali gara-gara pemanasan global yang semakin
buruk atau apa, yang jelas itu membuat cuaca benar-benar ekstrim tahun ini.
Aku duduk di tempat tidur-ku
setelah membersihkan semua kekacauan di rumah. Badai masih berlanjut, suara
kilat berkali-kali meledak dan hampir membuatku tuli. Aku memandang sebuah
bingkai foto lama, di dalamnya ada fotoku 5 tahun lalu bersama ayah dan ibu di taman
safari, tempat almarhum ibu kerja. Aku memikirkan saat-saat bahagia itu, sudah
lama sekali rasanya tidak bertemumu dengan ibu. Rasa nya ingin sekali aku
melakukan hal-hal seperti dulu, melompat naik bus dan cepat-cepat pulang ke
rumah setelah sekolah. Ibu pasti memelukku dan senang bertemu denganku,
menanyakan apa yang terjadi di sekolah hari itu, aku pasti menceritakan
semuanya pada ibu dan dia dengan antusias mendengarkan ceritaku. Aku berjanji
tidak akan pernah mengecewakan dan membuat dia sedih lagi meski sekarang sudah
terlambat untukku. Aku tak tahan melihat tatapan sedih darinya. Tak terasa
tiba-tiba air menggenang di kedua mataku, semakin banyak dan semakin lama tak
tertampung. Aku tak bisa menahannya jika memikirkan tentang ibu.
Diiringi suara ledakan petir
yang berkali-kali menyambar, aku bersenandung sambil melihat ke luar jendela,
berusaha mengalihkan pikiranku dari memori itu. Di seberang rumah terlihat
bayangan Mrs Boht dari balik horden di dalam rumahnya yang sedang mengomeli
kucingnya. Barangkali kucingnya mengacak-gacak meja makan atau sebagainya,
itulah yang aku tahu menurut pengalamanku. Mrs Boht adalah perempuan paruh baya
dengan postur tubuh tinggi bungkuk yang hanya tinggal bersama kucing-kucing nya.
Jumlahnya kira-kira puluhan ekor.
Dulu aku sering ke rumahnya
untuk memberikan makanan dari Ibu untuknya. Rumahnya di penuhi barang-barang tua antik. Di antara
barang-barang itu banyak yang berselotep karena pecah, mungkin. Semua kucingnya
ada di halaman belakang, dibatasi pagar yang cukup tinggi, cukup untuk Mrs Boht
menjulurkan lehernya di alas pagar-pagar itu untuk melihat keadaan
kucing-kucingnya. Tak jarang kucingnya berhasil lolos dari pagar itu, masuk ke
dalam rumah hanya sekedar jalan-jalan karena bosan mungkin, atau juga
mengacak-acak rumah Mrs Boht dan menghancurkan barang-barang antiknya. Hal yang
palig tidak aku sukai saat berkunjung ke rumahnya adalah ruang tamunya yang bau
busuk fermentasi kedelai dan Mrs Boht memaksaku duduk di ruang tamunya untuk
menonton TV tua yang menampilkan gambar hitam putih nya sementara dia
menyiapkan segelas teh dan camilan untukku. Tidak ada yang aneh dengan teh-nya,
tapi camilan yang ia sediakan selalu aneh untukku. Terakhir kali aku ke
rumahnya, ia memberiku 2 potong kue coklat yang setelah kumakan seperti aku
memakan sepotong garam dapur rasanya. Mungkin karena umurnya, daya indra
perasanya mulai kurang.
Aku masih melihatnya sedang
memegang tongkat dan mengayunkannya ke atas-bawah bersama dengan kucingnya yang
melompat kesana kemari, menghindari terkena pukulan tongkat Mrs Boht. Itu
seperti pertunjukan siluet yang menghibur. Aku menyadari aku telah melihat mereka
terlalu lama sampai mata dan leherku pegal dan nyeri.
Tak terdengar suara apapun
selain air hujan yang jatuh menghantam tanah. Petir menyambar tak sebanyak
sebelumnya, untunglah telingaku bisa beristirahat. Aku berbalik memandang jam dinding
yang menunjukkan pukul empat sore. Lampu jalan sudah menyala walaupun belum waktunya.
Keadaan di luar sangat gelap, seharian ini aku tak melihat matahari. Mengingat
hal yang dikatakan pembawa acara TV pagi tadi, aku membayangkan bagaimana kalau
hal ini benar-benar terjadi sampai 10 hari ke depan.
Tubuhku bergetar melawan
hawa dingin. Mataku mulai lelah dan kantuk datang seeakan menyelimuti seluruh
tubuhku. Aku mematikan lampu kamar tidurku, menarik selimut dan menutup seluruh
tubuhku kemudian tertidur setelah itu. Malam itu aku memimpikan tentang
kematian ibu. Mimpi buruk yang membuatku bangun dengan napas terengah-engah dan
keringat membasahi seluruh tubuhku.
To be continued
…
Comments
Post a Comment