Nightmare 2

The Darkest Nightmare Pt.2



I’m in my Day Dream.

Aku berada di dalam sebuah ruangan, seperti penjara tua kumuh penuh kerak di temboknya dengan sedikit cahaya keemasan yang masuk dari jendela samping. Dari arah ujung di balik jeruji aku mendengar suara samar-samar seperti ada yang bercakap, seorang perempuan dengan seorang atau 2 orang pria dengan suara dingin mengancam, di suatu ruang, seperti ruang perapian rumah tua. Perempuan itu, nada bicaranya seperti tidak ada harapan untuk hidup esok hari. Aku menyipitkan mataku dan membidik, berusaha melihat apa yang bisa aku lihat. Kabut tipis menghalangi pandanganku. Tempat ini benar-benar aneh, dan sedikit menyeramkan.

Dugaanku benar, aku bisa melihat dengan samar seorang pria tinggi dengan jaket hitam kulit yang ia kenakan, suara nya ketakutan, berlutut di depan sofa merah marun, menunduk, menjanjikan sesuatu kepada seorang yang duduk di sofa itu. Aku yakin orang yang duduk di sofa itu sangat pendek, kepalanya saja tidak terlihat dari belakang, hanya tangannya yang mungkin sebesar kaki gajah, yang terlihat olehku menggenggam pegangan sofa. Aku tidak bisa melihat perempuan itu. Tapi aku yakin dia ada di hadapan sofa itu, sedang merintih memohon sesuatu. Aku berusaha menangkap apa yang mereka bicarakan.

Terdengar suara dingin, seperti kemarahan dengan suara serak pria tua yang aku yakin itu adalah suara seorang yang duduk di sofa. Api di perapian nyala membesar ketika dia mengeluarkan suaranya. Entah mengapa aku merasa lemas ketika mendengar suara itu.

“Berikan dia, maka aku akan membebaskanmu!” katanya, dingin. Mendengar suara itu, membuat bulu kuduk ku merinding dan rasanya seperti sebongkah es baru saja meluncur di dalam perutku. Tubuhku lemas seketika.

“Jangan, kumohon padamu, jangan dia,” suara perempuan itu dengan nada memohon sangat. Sepertinya aku kenal dekat dengan suara perempuan itu, tapi entah siapa.

Pria yang berlutut itu bangun, dan berjalan entah kemana, keluar dari pandanganku. Kemudian aku melihat kilatan biru lurus dari sofa merah marun itu menuju sesuatu dihadapannya, disertai dengan jeritan kesakitan dari perempuan lemah itu. Rasanya ingin aku berlari dan menolong perempuan itu, dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi aku terjebak di dalam ruangan ini. Setelah jeritan itu berhenti,  suasana menjadi hening seketika. Sampai akhirnya pria yang berlutut tadi datang kembali dan kembali berlutut, menunduk di hadapan sofa itu, dan berkata, …

“Tuanku, izinkan aku untuk membunuh anak itu,” katanya agak sedikit ragu.

“Tidak, Walshock, dia milikku, akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri!” jawab pria yang duduk di sofa. “Lebih baik kau carikan aku darah segar, perjalanan ini membuatku lelah dan haus,” tambahnya.

“Ba-baiklah,  tuan,” jawab pria yang bernama Walshock, agak sedikit kecewa.

Seketika pria yang bernama Walshock itu berubah menjadi monster mirip kalelawar raksasa dengan sayap kulitnya yang merentang ke seluruh ruangan. Aku bisa melihat taring-taring kuningnya yang keluar dari mulutnya, kuku jari tangan kakinya membuatku ngeri seperti dia siap mencabik apa saja yang dia mau. Kemudian dia terbang pergi menembus atap ruangan itu. Tanganku gemetar tak terkendali melihat makhluk menyeramkan itu, lututku lemas, dan keringat bercucuran deras di sekujur tubuhku.

Aku masih bisa mendengar rintihan perempuan itu, ingin sekali aku menolongnya, dan pergi dari tempat mengerikan ini.

Suara serak itu  kembali terdengar, kali ini lebih lembut.

“Katakan dimana dia, Fianna, maka kau akan hidup bahagia,” kata pria serak itu seakan merayu.

Aku terkejut, mataku membelalak mendengar nama itu, aku berusaha berteriak, tapi bahkan aku tidak bisa mengeluarkan suaraku sedikitpun. Ibu. Itu ibuku, aku yakin itu ibuku, perempuan bernama Fianna yang disiksa oleh pria-pria itu. Aku terus berusaha membobol jeruji-jeruji besi ini, tetapi ini terlalu kuat untuk dihancurkan. Seluruh tubuhku lemas tak berdaya. Tetap berusaha berteriak memanggil ibu walaupun tak ada sedikitpun suara yang berhasil diciptakan olehku.

“Tak akan ku biarkan kau mendapatkannya, pembunuh!” kata perempuan yang aku yakin dia adalah ibuku, kali ini dengan nada yang benar-benar tegas.

Aku tahu kejadian buruk akan terjadi setelah itu. Aku mendengar pria itu menggeram kesal. Api yang tadinya hanya ada di perapian kini menjalar ke seluruh ruangan itu. Penglihatanku sedikit terhalang oleh api itu dan aku merasakan panas yang luar biasa. Rasanya seperti sedang di Oven.

“Berani-nya kau!” pria serak itu mengancam dan keluar kilatan merah, suara menderu disertai dengan jeritan ibu, ini yang terkencang dari yang pernah kudengar. Aku mendengar suara gubrakan, seperti bunyi lantai kayu yang tertimpa tubuh.

Sofa merah marun itu berputar menghadapku setelah jeritan ibu tak terdengar lagi. Entah kenapa setelah sofa itu menghadapku, aku merasakan entakan kengerian. Berusaha melihat siapa pria yang duduk di atas sofa itu, aku melihatnya sekilas. Pikiranku kosong setelah itu, aku tak bisa berbuat apa-apa, tubuhku tegang, dan hawa dingin datang menyelimuti tubuhku. Tiba-tiba aku mendengar suara pria serak itu, memanggil namaku, tubuhku seperti jatuh meluncur dari ketinngian, membuatku ngeri-kaget dan terbangun dari tidurku.

Gaaaaarrddddd …. !

Aku terbangun dengan keringat membasahi sekujur tubuhku. Terbaring telentang, terengah-engah seakan habis berlari jauh. Mimpi itu terasa sangat nyata sekali. Aku yakin perempuan itu, ibuku. Tubuhku masih dingin gemetar. Aku duduk, berusaha menenangkan diri dan mengatur nafas. Berusaha meyakinkan diriku kalau itu hanya mimpi dan aku akan melupakannya. Tapi, semakin aku berusaha melupakannya, alih-alih melupakan mimpi itu, justru malah terus melintas di pikiranku. Mimpi yang sangat nyata sekali. Aku mendengar percakapan 2 orang pria, yang satu tinggi bernama Walshock berubah menjadi monster kalelawar raksasa, satu lagi seorang pria yang duduk di sofa merah marun tapi aku tak bisa melihatnya, dan seorang perempuan yang bernama Fianna, yang aku yakin dia adalah ibuku. Mereka sedang menyiksa ibuku di dalam mimpiku. Sungguh, mimpi terburuk yang pernah kualami. Aku yakin ini tanda peringatan akan adanya bahaya. Ibu pasti menyuruhku untuk lebih berhati-hati. Tubuhku lemas sampai tak kuat untuk menopang  beratnya sendiri.

Kamarku diterangi cahaya jingga redup yang menembus melalui jendela dari lampu jalan di luar jendelanya. Suasana ini mengingatkanku dengan penjara tua tempatku berdiri di mimpiku. Gambaran samar seorang laki-laki dengan suara serak bertangan besar yang duduk di atas sofa merah marun itu muncul. Aku tidak ingin mengingatnya, tapi ini membuatku penasaran. Aku memejamkan mata rapat-rapat, berkonsentrasi keras, berusaha mengingat apa yang aku lihat di atas sofa itu. Tapi rasanya mustahil untuk mengingatnya. Yang aku ingat hanya rasa entakan kengerian, saat sofa itu berputar menghadapku. Hawa dingin datang menyelimuti diriku setiap kali aku berusaha mengingatnya.

Aku membuka mataku kembali, tubuhku terjatuh-tergeletak di atas tempat tidurku, seakan-akan ratusan ekor gajah baru saja menabrakku sampai aku mati rasa. Aku mengangkat wajahku, bangkit dari tempat tidur—kembali duduk, dan memandang sekeliling kamar tidurku, berharap aku bisa mengalihkan perhatian dari mimpiku. Aku menyalakan lampu di meja samping tempat tidurku. Memandang keluar jendela dan melihat ke ujung timur kamarku. Di atas bukit belakang sekolah terlihat cahaya jingga terang yang membuatku sadar sebentar lagi matahari akan naik. Aku melihat jalan di bawah. Jalanan komplek rumahku tampak seperti yang diharapkan, Trin Valley di pagi hari. Sunyi-sepi menjelang fajar di hari minggu. Semua gorden dan jendela tertutup. Hanya ada suara angin berhembus dan deru daun pohon yang bergesekan, ditambah dengan cahaya jingga remang dari lampu jalan. Tak ada seorang pun, bahkan kucing yang biasa berkeliaran di dekat tong sampah untuk mencari makan pun tidak tampak. Hanya genangan air yang tampak masih membasahi jalan akibat badai besar kemarin.

Aku kembali ke tempat tidurku dengan resah, berbaring memandangi langit-langit kamar tidur sambil meregangkan ototku. Lampu tidurku semakin lama semakin redup, diganti dengan cahaya hangat keemasan tanda terbitnya matahari, merayap memasuki kamar tidurku. Suara kicauan burung mulai muncul, begitu juga suara air dari penyiram tanaman dan lemparan sapaan selamat pagi dari para tetangga di luar. Terdengar suara khas Mrs Boht, melemparkan sapaan selamat paginya kepada para tetangga yang dilihatnya. Mulai terdengar suara ribut kucing yang berkelahi berebut tempat sampah untuk mencari makan. Tapi ada suara yang menurutku lebih ribut daripada kucing-kucing itu.

Ku kira nenek sihir itu tidak akan pulang, tapi hal yang paling tidak aku sukai setiap pagi liburan ini muncul kembali. Suara deritan anak tangga yang dinaiki nenek sihir itu menuju kamarku untuk menggedor-gedor membangunkanku. Dan itu terjadi lagi sekarang, seakan suara deritan anak tangga itu memperingatkanku akan datangnya bahaya. Tapi kali ini aku bangun lebih dulu darinya. Sebelum dia sempat menggedor pintu kamarku, aku sudah membalas sapaan selamat paginya padaku lebih dulu.

“Yaa! Aku sudah bangun,” teriakku dari dalam kamarku. Aku dengar suara hentakan kaki itu berhenti tepat di depan pintu kamarku.

“Lakukan tugasmu, cepat! Kita harus menjemput ayahmu setelah itu, Pukul sembilan, jangan sampai telat!” jawabnya.

Mendengar jawabannya, baru kali ini aku semangat untuk melakukan apa yang dia suruh. Walau sebenarnya bukan untuknya, tapi … bagaimana bisa aku melupakan kalau ayah akan pulang hari ini. Aku bangkit dari tempat tidurku dengan semangat, menggeliat meregangkan badan sambil menyebrangi ruangan, dan membuka lemari pakaianku. Aku sadar, tak ada lagi waktu untuk berpikir. Aku mulai mengganti pakaianku, dan memandangi diriku dari cermin. Satu-satu nya hal yang aku sukai dari tubuhku, yaitu mata biru ibuku.

Mungkin aku terlalu lama menatap cermin sampai-sampai suara teriakkan melengking yang aku himbau jika kalian mendengarnya maka segeralah ke dokter untuk diperiksa, tiba-tiba menggelegar ke seluruh rumah, memecah fokusku.

“Cepat, Garddd!”

Tak lain dan tak salah, itu suara ibu tiriku. Aku yang sudah selesai dengan urusan pakaianku segera turun menghampirinya. Aku memakai kemeja biru laut dan jeans yang dibeli ayah sebagai hadiah ulang tahunku tahun kemarin serasi dengan warna rambutku, tentu saja aku punya warna rambut yang sama dengan ayah, silver putih. Kemeja ini tentu saja masih muat untukku yang bertubuh kurus, hanya saja lengannya naik beberapa senti.

Untunglah aku sudah membersihkan dapur, bahkan seluruh rumah kemarin. Tak ada lagi pemandangan sampah menumpuk dan bau busuk yang menjalar menusuk sampai hidungku perih seperti kemarin.

Entah mengapa bayangan mimpiku semalam selalu muncul, membuatku kadang tak sadar sedang memikirkan hal itu. Aku berusaha mengalihkan fokusku pada penggorengan yang aku pegang dengan daging asap di atasnya, tapi hal itu mustahil, asap-asap hasil penggorengan itu terlihat seperti membentuk tengkorak yang seakan-akan mentertawakanku. Tanpa sadar aku bernapas ter-engah-engah sampai ibu tiriku yang sedang duduk di sofa dengan sikat gigi di mulutnya menepuk tangannya sambil memanggil namaku tidak jelas.

“He’, Gaw’d! Ad ap dengnmw?!” katanya tidak jelas disertai bunyi prok nyaring.

Aku kembali sadar dengan tampang bingung bercampur takut, menoleh padanya dengan reflek, “Tidak- t-tidak apa-apa,” kataku disertai gelengan kepala.

“Cepwt ato’ kita ak’an tela’t!” jawabnya seperti bayi yang baru belajar bicara, dengan wajah yang menurutku itu meledek.

Pagi ini cerah , matahari kembali menyinari bumi dengan cahaya normal, awan berbaris membentuk pola bergelombang indah seperti biasanya di pagi hari, tak ada tanda-tanda langit yang berbahaya. Sepertinya badai memilih cuti hari ini setelah mengeluarkan semua stok airnya kemarin.

Pukul setengah sembilan pagi, Ibu tiriku menyiapkan mobil untuk pergi ke stasiun Midtrict Town. Hal yang tak mungkin dia lupa : perlengkapan make-up, menyiapkan diri untuk akting sok lembut di depan ayah, dan yang paling penting mungkin memberiku peringatan sebelum berangkat menjemput ayah.

Dia menarik tanganku secara paksa ketika aku sedang merapikan kemejaku, membuat salah satu kancing kemeja ku lepas karena tarikannya yang terlalu kencang dan tiba-tiba. Sesaat keinginanku untuk meninjunya timbul. Dia membawaku ke belakang mobil, dekat bagasi.

“Kuperingatkan kau,” katanya pelan menggeram, wajahnya yang menyeramkan dengan mata seperti ingin keluar dekat sekali dengan wajahku.

“Kuperingatkan kau sekarang, jangan pernah berkata macam-macam pada ayahmu tentangku—kalau kau melakukan hal aneh, aku bersumpah tak akan membiarkanmu bebas."

Ingin rasanya aku menghantam wajahnya dengan tonjokkanku, tapi aku tak mungkin melakukan hal itu. Aku hanya menggeram menanggapi peringatannya, tidak-tidak, itu bukan peringatan untukku itu sebuah ancaman. Lagipula aku sudah mendengar ancaman menjijikan itu puluhan kali sejak 1 tahun terakhir.

“Tak ada komentar,” tambahnya.

Aku hanya menggerutu di belakangnya, tetap berusaha agar tidak terdengar olehnya agar ia tak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya yang bisa membuatku kesal mendengarnya.

Terlihat Mrs Boht melambaikan tangannya dari seberang rumah kepada ibu tiri-ku. Ia membalas lambaian tangan Mrs Boht sambil mengatakan ‘menjemput Louis, di stasiun’ kemudian dia menyenggolku, memberi isyarat padaku untuk menyapa Mrs Boht. Aku melambaikan tanganku untuk Mrs Boht dan berkata ‘Selamat Pagi Mrs Boht, hari yang indah’. Yang dibalas dengan anggukan oleh Mrs Boht.

Akhirnya kami berangkat ke stasiun untuk menjemput ayah, keretanya akan tiba pukul sembilan pagi, dan kami tidak akan terlambat sampai kesana. Semoga semua baik sampai ayah pulang.

Seperti biasanya, tak ada obrolan jika hanya ada aku dan nenek sihir itu. Hanya suara deru mesin mobil yang berdengung seperti kawanan lebah yang sedang mencari makan yang terdengar olehku. Sampai aku memutuskan untuk membuka sedikit kaca pintu mobil di sampingku. Sementara dia sibuk menyetir dengan kedua telinganya yang tertutup oleh earphone, tak peduli dengan keadaan sekitarnya.

Angin sepoi masuk lewat celah kaca pintu mobil yang kubiarkan terbuka sedikit, menghempas wajahku. Midtrict Town termasuk kota kecil yang sejuk dan minim polusi. Pohon-pohon tinggi dan lebat berbaris di tepi jalan, daunnya terhempas angina lembut sejuk, menghasilkan bunyi deru alam yang melegakan telinga. Burung-burung bertengger di dahan pohon, sebagian di atas tiang dan kabel listrik saling melemparkan siulan merdu mereka. Kurasakan ketenangan sejenak dalam tubuhku. Melupakan semua yang terjadi semalam. Rasanya semua beban yang ada di pikiranku hilang entah kemana. Yang pasti aku meraskan tubuhku mencapai keadaan yang benar-benar rileks.

Gedung tua di ujung jalan mulai terlihat. Gedung besar dengan arsitektur kuno berbentuk setengah lingkaran, berwarna putih dan oranye. Tempat dimana aku akan menemui Ayah yang akan menjadi hari terbaik dalam liburan ini, Stasiun Midtrict Town.

—00-00-00—

Comments

Popular Posts